Benarkah Anda Seorang Khalifah?
Pernah tidak Anda berfikir mengapa amanah besar berupa jabatan khalifah di muka bumi ini Allah sematkan kepada manusia? Lalu apa sebenarnya keistimewaan manusia tersebut yang menjadikan hal ini lalu menuai protes para Malaikat, sampai-sampai Allah Ta'ala harus menegaskan diri-Nya sebagai Zat Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Ragam pertanyaan ini muncul dalam Pekan Motivasi Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah (Ahad, 06 Maret 2011).
Acara yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Putri STIS Hidayatullah ini menjadi salah satu kegiatan yang ditunggu-tunggu oleh para mahasiswi. Tidak heran, sebab selain wadah silaturahmi dengan para asatidz, mahasiwi juga mendapatkan energi baru dengan suntikan spirit yang dipompakan oleh para pemateri. Hadir sebagai pemateri dalam acara kali ini adalah Naspi Arsyad, Lc (Pengurus Pimpinan Pusat Hidayatullah).
Manusia mempunyai banyak keistimewaan yang tak dimiliki makhluk yang lain. Demikian Naspi mengawali pembicaraannya di aula Mushalla Sakinah Jamilah. Rupanya manusia memiliki empat unsur secara mendasar dalam dirinya. Yaitu iman, akal, fisik, dan hawa nafsu. Semua itu diperlukan sebagai bekal menjadi seorang khalifah. Namun keempat unsur ini tidak akan menjadi sesuatu yang lebih istimewa tanpa ada instrument penggerak yang lebih spesifik yaitu ilmu.
Untuk cita-cita besar di atas, STIS Hidayatullah hadir di tengah-tengah kebutuhan umat saat ini. STIS Hidayatulah hadir sebagai salah satu wadah pembentuk para kader yang berjiwa pemimpin. "Orang yang berilmu, ibarat emas yang senantiasa dibutuhkan dan dicari. Hatta di dalam gundukan batu di tengah gurun yang panas pun orang akan mencarinya!" ujar Ustadz lulusan Islamic University, Madinah ini. "Karena itu, jika merasa sebagai orang yang berilmu, jangan khawatir untuk hidup di mana pun, sebab orang berilmu dicari oleh hidup, bukan mencari hidup." Tegas Ustadz yang sedang menempuh pendidikan Magister ini kembali.
Dengan segala keterbatasan yang ada, STIS Hidayatullah berupaya menghantar para mahasiswa menjadi seorang pemimpin umat yang tentu memiliki tanggung jawab besar. Selain ilmu yang didapat di ruang kuliah, para mahasiswa juga dibekali berbagai kegiatan tambahan uantuk mengasah skill akademik dan kepemimpan mereka. Minimal seorang mahasiswa aktif membaca. Membaca apa saja, tidak sebatas ayat-ayat qauliyah tetapi juga membaca ayat-ayat kauniyah. Olehnya, seorang mahasiwa -yang nota bene adalah calon pemimpin- tidak boleh merasa puas hanya dengan ilmu yang didapat dari bangku kuliah. Merasa layak diwisuda dan mendapat gelar akademik lalu tampil sebagai seorang pemimpin. Terlebih ketika menyadari belum maksimal menguasai ilmu yang diberikan di bangku kuliah kemudian tidak berupaya meng-up grade kemampuan. Alih-alih mencari ilmu tambahan, ia justru sibuk dengan pelanggaran-pelanggaran yang hanya membuat dirinya semakin jauh tertinggal. Pertanyaannya, mana bentuk tanggung jawab dirinya atas amanah yang telah diberikan Allah kepadanya? Kemana gerangan jiwa kekhalifahan orang itu?
Salah satu bentuk tanggung jawab mahasiswa sebagai (calon) pemimpin tidak lain dengan menjadikan sistem yang terbentuk di STIS Hidayatullah menjadi lebih kuat dengan kehadiran mereka. Hingga generasi berikutnya bisa menikmati warisan berupa sistem yang terjaga tersebut.
Fenomena yang sangat memprihatinkan terjadi ketika tanpa sadar para mahasiswa melakukan "dosa jariyah". Di saat para asatidz pengelola STIS Hidayatullah sedang fokus memikirkan dan merencanakan perkembangan STIS Hidayatullah ke depan, namun rupanya hal ini tidak mendapat dukungan dari mahasiswa. Alih-alih memberi sokongan, mereka justru hanya membuat pelanggaran yang mau tidak mau menyita perhatian para asatidz dalam penyelesaian masalah tersebut.
Jika kondisi ini berlangsung terus menerus, maka STIS Hidayatullah hanya sibuk menangani berbagai pelanggaran saja. Tanpa punya waktu lagi memikirkan perkembangan STIS Hidayatullah ke depan. Inilah bentuk "dosa jariyah" mahasiswa. Ketika perbuatan mereka telah mengambil hak ratusan mahasiswa yang lain. Hak mahasiwa untuk mendapatkan pelayanan akademik yang lebih baik dari STIS Hidayatullah. Pertanyaan (berikutnya) adalah, apakah karakter seperti ini layak menjadi seorang pemimpin masa depan? Suatu karakter yang layaknya benalu bagi sebuah sistem yang sementara tumbuh dan berkembang.
Alhasil, inilah tantangan bagi semua diri. Sebab jalan menuju sebuah kepemimpinan memang tidak terlepas dari tantangan itu sendiri. Adanya tantangan yang berat justru seringkali menjadi pemicu terbentuknya jiwa khalifah (pemimpin) dalam diri seseorang. Sebagaimana Nabi Adam yang dulunya juga ditentang oleh segenap malaikat dan iblis ketika itu. Dalam sebuah ungkapannya, pendiri Hidayatullah Allahuyarham Ustadz Abdullah Said berkata, "Kita harus selalu mencari tantangan, karena di balik tantangan itu ada peluang. Dan di dalam bergelut dengan tantangan itulah kita menyadari potensi kekhalifahan yang ada di dalam diri kita." Allahu Akbar. (viedah)
Baca juga yang ini :
- Al Qaradhawi:�Al Qadianiyah, Minoritas Non Muslim�
- Muaskar Lughah STIS Hidayatullah
- Ujian Akhir Semester [UAS] Ganjil STIS Hidayatullah
- Menpera Kunjungi Pesantren Hidayatullah
- RAKER STIS HIDAYATULLAH 2011
