Cinta itu indah untuk diucapkan dan menyihir perasaan orang yang dicintai. Namun cinta bukan sekedar kata-kata, walaupun kata-kata itu indah seperti mutiara tapi cinta membutuhkan bukti usaha dan pengorbanan. Sebab jika cinta tanpa usaha dan pengorbanan maka itulah rayuan gombal.
Cinta bukan urusan anak muda yang sedang mabuk kasmaran. Namun cinta juga terkait dengan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, cinta juga dihubungkan dengan komitmen dan loyalitas seseorang terhadap institusi atau pekerjaannya. Allah-pun memberikan ralat terhadap pernyataan orang Arab Badui yang mengatakan, "Aku telah beriman, tidak tapi katakanlah aku telah masuk Islam." Berislam adalah pintu masuk untuk beriman dan setelah beriman maka ada konskwensi yang harus ditunaikan sebagai orang beriman yaitu ibadah dan akhlaqul karimah.
Dalam masalah loyalitas, banyak karyawan yang ketika awal masuk di tempat kerjanya mengatakan, "Saya cinta pekerjaan ini dan akan loyal terhadap perusahaan ini." Namun komitmen tersebut dipertanyakan, ketika si karyawan tidak sungguh-sungguh dalam bekerja dan menyelesaikan pekerjaannya.
Cinta monyet remaja juga sering didapatkan kasus serupa. Mengaku cinta tapi untuk datang ke rumah orang tuanya saja tidak berani dengan alasan hujan rintik-rintik. Padahal katanya, "Gunung akan ku daki, laut kuseberangi untuk datang menjemput."
Di STIS Hidayatullah ini juga ada mahasiswa yang selalu mengatakan, "Ustad, saya ini sangat mencintai STIS Hidayatullah, kalau tidak cinta tentu sudah jauh-jauh hari aku pulang kampung." Sebuah ungkapan yang menyentuh dan logis tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Sebab ungkapan itu hanya untuk menghindarkan atau minta dispensasi terhadap pelanggaran yang telah dia lakukan. Kata cinta atau komitmen memang penting untuk diungkapkan secara verbal tapi yang lebih penting adalah dalam bentuk perbuatan dan pengorbanan yang sungguh-sungguh.
Ungkapan cinta secara verbal yang dilakukan secara berlebihan atau tidak pada tempatnya justru akan membuat sebal dan meragukan cinta itu sendiri. Karena cinta itu bukan hanya untuk diungkapkan tapi perlu adanya bukti. Sangat sulit dipahami ketika berkata cinta dengan STIS Hidayatullah tapi tidak mentaati aturan di dalamnya. Ada yang mengatakan "jiwa raga untuk STIS Hidayatullah" namun saat kuliah atau kerja bakti "jiwa dan raganya" tidak hadir alias tidak aktif dan lebih mementingkan urusan pribadinya.
Alat ukur komitmen atau kecintaan mahasiswa terhadap STIS Hidayatullah adalah dengan melihat prosentasi kehadiran di meja kuliah, ketekunannya di masjid dan keaktifannya di kerja lapangan. Maka sistem kontrol dan kendali melalui presensi itu sangat penting. Ada yang berdalih. "Kita kan sudah mahasiswa dan besar-besar, kenapa harus diabsen-absen terus?". Dengan absen inilah STIS Hidayatullah bisa mengukur dan melihat tingkat kemajuan mahasiswa dan bisa dipertanggungjawabkan kepada orang tua wali mahasiswa.
Baca juga yang ini :
- Pendaftaran Mahasiswa Baru 2011
- Benarkah Anda Seorang Khalifah?
- Al Qaradhawi:�Al Qadianiyah, Minoritas Non Muslim�
- Muaskar Lughah STIS Hidayatullah
- Ujian Akhir Semester [UAS] Ganjil STIS Hidayatullah
Beri Komentar