Tersentak hati karena kaget dan geli, ketika ada seseorang memanggil penulis dengan bahasa dan sikap hormat, "Mau ke mana Pak rektor?". rasa risih karena selama dua tahun menjabat jarang dipanggil menjadi rektor atau memperkenalkan diri sebagai rektor. Sebenarnya tidak ada yang salah dari sapaan tersebut. Bahkan di masyarakat wajar seseorang dipanggil dengan sebutan jabatannya untuk menghormati seperti, pak ketua, pak lurah,pak camat, pak bupati atau pak gubernur. Ini juga mungkin disebut komunikasi hirarki kepemimpinan dalam sebuah organisasi.
Namun yang aneh adalah di Pesantren Hidayatullah di sini tidak terbiasa seseorang dipanggil dengan sebutan jabatannya karena memuliakan atau untuk dimuliakan. Budaya dalam Islam yang ada di Pesantren Hidayatullah, bahwa kemuliaan seseorang bukan berdasarkan jabatannya. Jabatan bukanlah sebuah cita-cita atau tujuan hidup bagi seorang muslim.
Hal sangat berbeda dengan budaya masyarakat yang sudah terkontaminasi dengan idiologi materialisme yang menjadikan jabatan adalah sesuatu yang pokok sehingga perlu dikejar dan direbut. Sebagaimana yang terjadi di negeri ini, dari pemilihan ketua RT, Pak lurah, bupati, walikota, gubernur, anggota legeslatif dan presiden. Jabatan dibidang ekonomi di banyak perusahaan juga tidak lepas dari polemik konflik perebutan kekuasaan. Di bidang pendidikan juga kerap terjadi perebutan kepala sekolah, dekan, rektor.
Mengapa mereka mati-matian berusaha untuk mendapatkan jabatan? Karena jabatan adalah sarana untuk mendapatkan materi, pengaruh dan prestisius. Padahal seharusnya jabatan adalah untuk mengabdi, melayani untuk kesejahteraan masyarakat. Menjabat adalah kesempatan berbuat banyak bukan mengambil yang terbanyak dari masyarakat.
Akibat dari idiologi bahwa jabatan adalah tujuan hidup sehingga sebagaian orang menghalalkan segala cara untuk merebut jabatan. Budaya menyuap,mengitimidasi, membuat makar mewarnai perebutan kekuasaan. Pengorbanan tenaga, harta, waktu bahkan nyawapun hilang. Sehingga sering terjadi ada peristiwa yang mengenaskan yaitu stress karena gagal menjadi caleg, hutang menumpuk, pertumpahan darah akibat saling membunuh.
Kemudian ada juga yang bergaya sok pejabat walaupun sebenarnya bukan pejabat tapi penampilannya seperti pejabat, pergaulannya dengan pejabat sehingga merasa menjadi orang penting yang harus dihormati dan marah saat orang mencoba untuk mencuekin. Selanjutnya yang lebih parah adalah pejabat yang berfikir dinasti yaitu ingin menjadi pejabat dalam waktu lama, kalau bisa selama-lamanya bahkan kalau bisa seumur hidup atau wariskan kepada anak keturunannya.
Kembali di Pesantren Hidayatullah, ada sikap yang hampir merata tentang sebuah jabatan yang bukan diperebutkan atau dibanggakan. Di antara sebabnya adalah keteladanan dari pendiri, pemimpin-pemimpin Hidayatullah yang egaliter, tidak membatasi pergaulan, tidak diantar dengan aturan protokoler yang ketat dan kaku. Perasaan risih untuk disedut sebagai....,sebagai.... dan sebagai...
Kedua, ada pemahaman yang senantiasa diintrodusir oleh para ustadz terhadap sebuah jabatan. Introdusir pemahaman melalui mimbar, kelas dan dialog sangat berpengaruh. Jabatan adalah amanah yang sarat dengan pertanggungjawaban dunia akherat. Dimensi jabatan menembus akherat untuk tanggungjawabnya.
Dengan dua sebab di atas yaitu keteladanan dari para pemimpin dan pemahaman terhadap jabatan. Maka santri terantar untuk tidak haus jabatan dan tidak membanggakan sebuah jabatan. Jabatan bukan dicari tapi jika diamanahi jabatan tidak lari.
Penampilan biasa-biasa saja terhadap jabatan bukan untuk menghindari tanggungjawab. Tapi sebagai bentuk untuk meringankan beban terhadap tanggungjawab, sebab berpenampilan sebagai pejabat itu beban tersendiri bagi orang yang paham dengan namanya tanggungjawab.
Baca juga yang ini :
- pAK pOS
- TIPE MANUSIA
- INI PENGKADERAN BUNG!
- ujian
- KELELAHAN INTELEKTUAL

Beri Komentar