MENJADI GURU BERJIWA "MALAIKAT"
Menyambung tulisan kemarin tentang guru adalah "malaikat". Malaikat dalam Islam, merupakan hamba dan ciptaan Allah yang dijadikan daripada cahaya lagi mulia dan terpelihara daripada maksiat. Mereka tidak berjantina, tidak bersuami atau isteri, tidak beribu atau berbapa dan tidak beranak. Mereka tidak tidur dan tidak makan serta tidak minum. Mereka mampu menjelma kepada rupa yang dikehendaki dengan izin Allah.
Menyamakan guru sebagai malaikat sebenarnya tidak pas namun karena keduanya adalah mahluk yang berbeda. Namun menyamakan manusia sebagai malaikat adalah sebagi bentuk memuliakan manusia tersebut memiliki beberapa keistimewaan. Meskipun sebenarnya mahluk yang paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang beriman.
Jadi potensi manusia memang di pertengahan. Mereka bisa menjadi mahluk paling mulia melebihi malaikat ketika bisa melakukan ketaatan sebagaimana malaikat sendiri. Kalau malaikat taat itu sudah sangat wajar karena memang tugas seperti itu untuk taat dan tidak diberi nafsu dan tahan godaan. Kemudian manusia juga memiliki potensi untuk menjadi mahluk paling sesat lebih sesat daripada syetan ketidak jiwanya terasuki oleh karakter syetan. Jika syetan itu sesat maka juga sudah wajar karena memang dasar penciptaan dan kemauan mereka memang ingin sesat sampai hari kiamat nanti.
Guru memiliki potensi untuk berjiwa malaikat. Tentu karena kemuliaan tugas dan pribadinya. Guru yang berkarakter "digugu dan ditiru" adalah guru yang berjiwa malaikat. Mereka all out, ruang kelasnya bukan sebatas ruang 6x8 meter atau hanya di areal sekolah, tapi di manapun, di rumah, di masjid, di jalanan, di pasar, di masyarakat atau dia berada di mana saja maka dia siap untuk belajar dan menjadi contoh.
Kemudian waktu belajar juga tidak dibatasi oleh jam mengajar antara 20 sampai 24 jam sepekan yang sekarang ini banyak dikeluhkan oleh banyak guru. Mereka sudah mengabdikan waktunya untuk murid dengan on the track dalam mengajarkan pembelajaran kepada para muridnya.
Selanjutnya bahan ajarnya juga tidak dibatasi oleh bahan yang ada di buku-buku cetak. Ruang kehidupan sehari-hari adalah media dan pelajaran pembelajaran yang tidak pernah habis untuk dikupas dan diajarkan kepada para muridnya.
Terkait kompensasi, mereka tidak pernah menuntut kenaikan gaji, honor, tunjangan atau apalah namanya yang sifatnya materi duniawi. Jangankan demostrasi ke gedung dewan atau di jalanan untuk sekedar menyuarakan di ruang rapatsudah sangat tabu. Mereka mengajar bukan untuk bekerja mendapatkan imbalan dari mengajarnya. Mereka mengajar karena keterpanggilan hati untuk berbagi dan mengabdi.
Ya, keterpanggilan hati untuk berbagi dan mengabdi ini yang hari ini langka dan mahal. Mungkin banyak yang mencibir dan menganggap sok suci. Namun di tengah himpitan dan serangan materialisme di kehidupan masyarakat, masih ada beberapa sosok guru yang mengajar karena hati bukan karena sertifikasi.
Bukan berati mereka tidak membutuhkan gaji. Mereka tetap manusia biasa yang juga memerlukan makan, minum dan fasilitas yang memadai. Namun tujuan dan cita-cita besar dari seorang guru bukan untuk mencari dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya gaji sehingga bisa membeli motor keluaran terkini, bisa pergi rekreasi sampai keluar negeri atau minimal taman mini, bisa kuliner kesana- kemari, bisa membeli rumah on the city.
Guru untuk bukan untuk mencari tapi jiwanya selalu ingin berbagi. Kebahagiaan menurut mereka ukurannya bukan berapa gaji yang didapat, jabatan yang diduduki tapi seberapa banyak murid yang sudah bisa mengerti, bisa sukses dan bisa menjadi manusia yang berbudi. Bukan berati guru harus menjadi sufi tapi guru adalah berjiwa memberi bukan mencari materi dibalik seragam berdasinya. Wallahu a'lam bish shawwab.
Baca juga yang ini :
- GURU ADALAH "MALAIKAT"
- BELAJAR DARI SEEKOR NYAMUK
- Lemahnya Kontrol Sosial
- ORANG BERIMAN TIDAK KENAL MENGANGGUR
- SULITNYA BERBUAT IKHLAS
