Seorang ibu muda di ruang tunggu penjembutan sekolah. Dia nampak gelisah dan tidak tenang, temannya mencoba menenangkan "Kenapa keluar keringat dingin, lagi sakit?" "Ndak mbak, cuma sedih aja!" Temannya bertanya lagi, " Kalau sedih itu bisa menyelesaikan masalah dan banyak manfaatnya, mungkin Rasulullah dengan hadistnya menyuruh kita untuk ramai-ramai bersedih." Dia nampak tersenyum, " Begini mbak, saya ini bingung dengan suamiku yang egois dan cuek"

"Lho, ndak salahkah penilaian itu, bukankah dia suami yang tanggungjawab dan halus bicaranya. Ini kata suamiku dan memang begitu saya lihat sekilas." Lalu dengan menghela nafasnya dia menjelaskan, "Semua orang bilang begitu, dia memang punya tanggung jawab. Secara materi, dia sudah penuhi semua kebutuhan rumah tangga. Kalau di rumah, tidak pernah lelah untuk membantu menyelesaikan urusan rumah dengan mencuci, menyapu, terkadang juga memasak. Tapi dia pendiam, jarang sekali bisa diajak ngobrol santai, lebih asyik dengan buku atau laptopnya, dan kalau ada maunya baru mendekat, setelah itu dingin lagi."

Kesimbangan Hak dan Kewajiban

Kehidupan suami istri diikat oleh sebuah akad atau perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidha). Perjanjian ini tentu mengandung konskwensi yang tidak ringan bagi keduanya karena berdimensi dunia dan akherat. Bukan sekedar kontrak sosial, sebagaimana yang dipahami orang barat tentang pernikahan mereka.

Perjanjian tersebut melahirkan hak dan kewajiban di antara keduanya. Hak dan kewajiban tersebut terbingkai dalam asas simbiosis mutualisme atau hubungan untuk saling menguntungkan atau menang-menang. Bukan untuk keuntungan sepihak dan eksploitasi kepada yang lainnya.

Kemudian suami istri dalam keluarga adalah subyek dan obyek. Satu sisi seorang suami adalah subyek dengan kewajiban untuk memenuhi hak istri. Namun pada sisi lain, suami adalah obyek yang wajib mendapatkan hak sebagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh istri.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 228, "Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma'ruf". Al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jami' li ahkamil Qur'an menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hal yang harus dipenuhi oleh istrinya.

Sehingga ketika suami tidak maksimal dalam menjalankan kewajibannya maka ada hak istri yang pasti terasa kurang. Demikian juga sebaliknya, ketika isti tidak menunaikan kewajibannya dengan baik maka suami merasa tidak nyaman dalam berkeluarga karena haknya berkurang.

Dalam kehidupan ini, banyak kasus yang menunjukan bahwa suami lebih sering mengabaikan hak-hak istri atau tidak menunaikan kewajibannya dengan baik. Inilah yang sebenarnya memicu perselisihan yang berujung pada perceraian karena ada hak-hak istri yang terabaikan.

Kebutuhan Dhohiriyah atau Materi

Hak istri dikelompokan menjadi dua jenis yaitu yang bersifat dhohiriyah dan bathiniyah. Dhohiriyah artinya yang tampak yaitu berwujud materi seperti pangan, sandang dan papan. Atau yang dikenal sebagai kebutuhan primer atau asasi. Padahal pemenuhan kebutuhan dhohiriyah adalah salah satu bagian saja.

Standart kebahagiaan buka dari pencapaian materi yang telah didapatkan. Dalam hal ini standartnya bukan pada keinginan istri tapi kemampuan suami. Ini cukup sensitif bagi suami istri yang tidak memiliki pemahaman yang sama tentang standart kebutuhan dhohiriyah ini.

Suami yang baik tentu akan memberikan yang terbaik kepada istrinya dan istri yang baik tidak akan menuntut pemberian lebih yang di luar kemampuan suaminya. Kecukupan materi atau kekayaan berdasarkan kebutuhan bukan keinginan atau nafsu.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan dalam hadistnya : "Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ingin memiliki lembah emas kedua ; seandainya ia memiliki lembah emas kedua, ia ingin memiliki lembah emas yang ketiga. Baru puas nafsu anak Adam kalau sudah masuk tanah. Dan Allah akan menerima taubat orang yang mau kembali kepada-Nya." (Hadits Riwayat :Bukhari Muslim)

Dalam hal ini, ada dua titik ekstrem type suami. Pertama yang berusaha kerja banting tulang dari pagi hingga tengah malam untuk memberikan hak istri sehingga jarang bertemu, cengkerama dengan keluarganya. Kedua, suami yang malas artinya tidak berusaha maksimal sehingga istri terlantarkan pangan, sandang dan papannya.

Kebutuhan Bathiniyah atau Immaterial

Kemudian kebutuhan yang bersifat bathiniyah. Kebutuhan ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu kebutuhan religius, psikologis dan biologis. Ketiganya tidak tampak tapi harus dipenuhi dan sangat terasa jika tidak terpenuhi dengan baik.

Kebutuhan religius yaitu kebutuhan spritual. Suami harus memberikan jalan, fasilitas dan kondisi yang memungkinan peningkatan keimanan, pemahaman dan pengamalan keagamaan istri. Pengkondisian suasana rumah sebagai tempat ibadah dan tarbiyah harus menjaga program utama. Jika suami tidak bisa memberikan nasehat dan tausyiah yang baik maka bisa difasilitasi untuk mengikuti pengajian, majlis taklim atau membelikan buku-buku yang terkait untuk upgrade istri. Ini yang menyejukkan suasana rumah bukan AC, fasilitas hiburan atau perlengkapan wah di dalamnya.

Kebutuhan psikologis. Ini sebenarnya kebutuhan rasa bagi seorang istri yang memerlukan perhatian, belaian, pujian, senda gurau, jalan-jalan atau apresiasi-apresiasi positif. Kelihatan sederhana acara-acara keluarga yang bersifat non formal tapi hasilnya akan luar biasa.

Mungkin suami menganggap itu kekanak-kanakan tapi memiliki dampak luar biasa jika suami memberikan hadiah ulang tahun kepada istrinya. Mengajaknya untuk ngobrol meskipun tanpa tema yang jelas tapi itu kebutuhan istri untuk bisa dekat dengan suaminya. Intinya acara-acara rileks dan santai itu sangat penting bagi istri sebagai pendamping hidup setia.

Kebutuhan biologis. Sebagian orang ini hal yang diidamkan dalam pernikahan. Namun ternyata tidak semua istri bisa menikmati keindahan biologis ini. Karena istri terkadang hanya ditempatkan sebagai obyek seks saja, padahal seharusnya keduanya harus merasakan kepuasan biologis.

Ada ibu muda beranak dua dan sudah sepuluh tahun menikah, tanpa ada sebab dia nekat untuk menggugat cerai suaminya. Suaminya dibuat bingung, karena selama ini merasa sudah memenuhi segala kebutuhannya. Kemudian setelah konsultasi dengan salah satu ustadz ternyata istrinya merasa kecewa karena tidak pernah merasakan nikmatnya hubungan suami istri padahal sudah punya anak dua dan sepuluh tahun menikah. Inilah perlunya dialog dan keterbukaan, jangan menjadikan tabu memperbincangkan masalah biologis agar tidak terjadi miskomunikasi. Wallahu a'lam bish shawwab.

 




Baca juga yang ini :

- MENJADI GURU MALAIKAT
- GURU BERJIWA MALAIKAT
- GURU ADALAH "MALAIKAT"
- BELAJAR DARI SEEKOR NYAMUK
- Lemahnya Kontrol Sosial


Komentar
Harga Belt Conveyor
15 Maret 2013 - 11:30:22 WIB

mksh banyak ya

Promo Bonus 100% Sbobet, Ibcbet dan Casino Online
14 Maret 2013 - 21:44:04 WIB

jangan menjadikan tabu memperbincangkan masalah biologis agar tidak terjadi miskomunikasi.Than ks for share!



Beri Komentar
Nama :
Website :
    Ex: www.stishidayatullah.ac.id (tanpa http://)
Komentar :
   
    (Masukan 6 digit kode diatas)
   
Cari





Copyright © 2010 by STIS Hidayatullah Balikpapan. Desain by Imran Kali Jaka All Rights Reserved.
e-mail : [email protected] | [email protected]